Cahaya Keluarga: Menyalakan dan Memadamkannya

Cahaya Iluminasi

Dalam menyusuri jalan yang gelap dan penuh rintangan, kita membutuhkan cahaya. Dunia ini adalah jalan gelap itu, sedangkan cahayanya adalah petunjuk dan bimbingan Allah. Dunia yang sejatinya hanya sebentar ini akan menentukan nasib kita di akhirat. Tidak akan kita selamat di akhirat tanpa pertolongan Allah. Allah memberikan cahaya-Nya kepada siapapun yang Dia kehendaki. Tentu kita ingin keluarga kita dipenuhi cahaya itu dari Allah.

Surat An-Nur ayat 35 menyebutkan kata “cahaya” bahwa Allah membimbing siapapun yang dikehendaki-Nya dengan cahaya-Nya. Kemudian, ayat sesudahnya–ayat 36–disebutkan yang artinya:

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.”

Pada intinya, siapapun atau keluarga manapun yang ingin diberikan cahaya Allah harus akrab dengan masjid. Banyak ditemukan keluarga yang carut-marut. Bahkan, akhlak anggota keluarganya merusak tatanan masyarakat yang seharusnya rapi. Bisa jadi itu semua terjadi karena keluarga tersebut jauh dari masjid. Di akhir ayat pun dapat kita tadabburi betapa pentingnya dzikir pagi dan petang. Pasti banyak yang kurang istiqomah dalam mengamalkan ini. Pekerjaan yang sejatinya sangat ringan, tetapi pahalanya sangat besar…. Begitulah julukan amalan ini… >_<

Apa sebenarnya yang membuat kita kurang istiqomah dalam berdzikir pagi dan petang? Lupa. Apa yang membuat lupa? Kita tidak bisa mengelak kali ini karena di Al-Quran di ayat setelahnya lagi, ayat 37, sudah disebutkan apa yang membuat kita lupa mengingat Allah. Ini bukan sekadar lupa, melainkan sudah merupakan kelalaian.

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sholat, dan (dari) membayaran zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”

Tentu kita sudah paham bahwa seorang suami sudah sepantasnya bekerja mencari nafkah dari pagi sampai sore, bahkan malam, untuk keluarganya. Namun, ternyata sesibuk apapun seorang suami mencari nafkah, tidak diperkenankan sampai lalai mengingat Allah, lalai sholat, lalai zakat, dan lalai kewajiban lainnya jika ingin mendapatkan cahaya dari Allah, agar hidupnya senantiasa diberi petunjuk dari-Nya. Sudah lama saya menggunakan istilah “lalai dari mengingat Allah” untuk mendeskripsikan parameter seseorang yang sedang futhur (imannya turun). Saya tidak menyangka bahwa istilah tersebut telah digunakan di dalam Al-Quran. Logikanya begini, orang yang tidak lalai mengingat Allah itu sudah pasti tidak lalai mengerjakan kewajibannya. Mengingat Allah saja tidak ditinggalkan, berarti dia tidak mungkin meninggalkan kewajibannya, tidak mungkin melakukan hal yang sia-sia karena waktu luangnya saja digunakan untuk berdzikir kepada Allah. Menjadikan amalan dzikir sebagai parameter kondisi iman seseorang merupakan upaya saya agar tidak meremehkan amalan tersebut. Ingat, walaupun ringan dilakukan, dzikrullah itu pahalanya sangat besar. Karena dzikrullah itu sangat ringan dilakukan, justru itulah yang menyebabkan manusia melalaikannya, meremehkannya. Padahal, dzikrullah itu membawa cahaya-Nya kepada orang-orang yang mengamalkannya… 😥

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama Allah), dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi shalawat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkanmu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.” (terjemahan QS Al-Ahzab: 41-43)

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan sholat, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah sholat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (terjemahan QS An-Nisa’: 103)

Jika laki-laki/suami saja dituntut untuk tidak dilalaikan oleh perniagaan/jual beli, apalagi wanita/istri yang tentunya tidak berkewajiban mencari nafkah. “Bila hanya seorang suami yang terus disibukkan urusan dunia sudah cukup menghancurkan kehidupan rumah tangga, apalagi bila istri pun memiliki hasrat dunia yang sama dan orientasi keluarga hanya ke sana,” ujar Ustadz Budi Ashari, Lc. Nabi saw pun pernah memberikan dua pilihan kepada istri-istrinya di kala istrinya mulai banyak menuntut hal-hal yang duniawi karena kehidupan mereka yang serba zuhud. Dalam surat Al-Ahzab ayat 28 disebutkan yang artinya:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kalian semua menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah kuberikan mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.”

Ternyata, orientasi duniawi bisa mencelakakan sebuah keluarga. Padamnya cahaya dari Allah membuat sebuah keluarga seperti terlunta-lunta dalam kesesatan. Tidak ada petunjuk dari-Nya. Ah, dunia ini memang melenakan… >_< Banyak yang melupakan akhirat karena kehidupan yang fana ini. Saya pun mencoba mengevaluasi kehidupan saya setelah saya memilih untuk mengajar di luar rumah. Saya yang hanya mengajar dua hari (2 x 2 jam pelajaran) tiap minggu saja sudah terasa betapa lalainya saya pada banyak hal. 😥 Badan yang lebih terasa letih daripada sebelum saya mengajar membuat saya harus beristirahat sejenak setelah pulang, sebelum saya mengerjakan kewajiban lainnya. Untuk mengajar anak-anak yang super sulit diatur dan suka protes, saya harus mempersiapkan bahan-bahan mengajar sejak dua hari sebelumnya dan juga mempersiapkan mental. ^^ Terkadang bete’nya suka sampai kebawa pulang kalau ada anak yang gak sopan atau protes dengan bahasa yang kurang enak didengar. Heuh… Anak zaman sekarang… Selain itu, tempat mengajar cukup jauh dari rumah. 🙂 Jadi, walaupun cuma dua hari, aktivitas saya sebagai guru cukup menyita banyak waktu. Pulang-pulang biasanya saya istirahat lebih dahulu sebelum mengerjakan pekerjaan lainnya. Terkadang, istirahatnya terlalu lama. Dengan alasan “me time”, saya mulai menunda-nunda kewajiban lainnya… 😥 Begitu juga saat saya mencoba mengikuti lomba-lomba menulis karena tergiur dengan hadiahnya. Saya kerjakan lomba tersebut sampai membuat saya lupa waktu sehingga menunda-nunda kewajiban. Aah… >_< Ini juga bukti saya mulai melalaikan dzikrullah karena mengejar dunia… Banyak sekali yang harus diperbaiki… Semoga Allah memberikan aku taufiq dan kemampuan untuk disiplin. Sesungguhnya aku tidak bisa melakukan apapun yang baik tanpa pertolongan dari-Nya.

Leave a comment