Tantangan Keistiqomahan

arrisalah-pendaki-kebahagiaan

Karakteristik iman yang naik-turun bagaikan jet coaster membuatku berpikir keras bagaimana caranya bisa istiqomah. Sudah lewat masanya aku cuek terhadap syariat Islam meskipun agamaku Islam, maka aku tidak ingin kembali ke masa itu. 😥 “Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaitanaa wa hablanaa min ladunka rahmah, innaka antal wahhaab.” Aku baru berkerudung saat kuliah dan saat itu kerudungku belum sempurna. Aku langkahkan kakiku di tangga keimanan. Aku rasakan perubahan demi perubahan ke arah yang lebih baik, hingga aku masih ingat di mana titik puncaknya selama ini dan itu bukanlah saat ini. 😥 Betapa hamba begitu lalai hingga seperti ini. Sulit sekali menapaki tangga keimanan kembali ke titik puncak yang dulu, apalagi melebihi itu. Astaghfirullah…

Banyak sekali ujian hidup yang telah aku lewati selama ini dan aku merasa sebagian besar gagal. Bukti kegagalanku adalah aku merasa tidak lebih baik dari sebelumnya. 😥 Namun, aku paham bahwa siapapun tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah karena Allah tidak suka.

Mereka menjawab, “Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.” Ibrahim berkata, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat.” (terjemahan QS Al-Hijr: 55-56)

Dari Abdullah ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ (yang artinya), “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, ’Apa sajakah yang termasuk dosa-dosa besar?’. Beliau menjawab, ‘Mempersekutukan Allah, merasa aman dari makar Allah, dan berputus asa dari rahmat Allah.’”

(Al Kaba’ir, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhaqqiq: Isma’il Al Anshory. (e-book version via www.waqfeya.net))

Sumber: https://muslimah.or.id/6724-berputus-asa-yang-dibolehkan.html

Allah justru sangat menyukai orang-orang yang memohon ampun kepada-Nya melebihi kegembiraan orang yang tersesat, lalu ia menemukan jalan keluarnya.

Sesungguhnya Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat pada-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang berada di atas kendaraannya dan berada di suatu tanah yang luas (padang pasir), kemudian hewan yang ditungganginya lari meninggalkannya. Padahal di hewan tunggangannya itu ada perbekalan makan dan minumnya. Sehingga ia pun menjadi putus asa. Kemudian ia mendatangi sebuah pohon dan tidur berbaring di bawah naungannya dalam keadaan hati yang telah berputus asa. Tiba-tiba ketika ia dalam keadaan seperti itu, kendaraannya tampak berdiri di sisinya, lalu ia mengambil ikatnya. Karena sangat gembiranya, maka ia berkata, ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu.’ Ia telah salah mengucapkan karena sangat gembiranya.” (terjemahan HR Muslim no. 2747)

Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(terjemahan QS Az-Zumar: 53)

Maka, di kala aku mulai sadar bahwa aku telah terlalu jauh dari Allah, aku hanya bisa berusaha menghadiri majlis ilmu sebisanya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Carilah hatimu pada tiga tempat; ketika mendengarkan bacaan al-Qur’an, pada saat berada di majelis-majelis dzikir/ilmu, dan saat-saat bersendirian. Apabila kamu tidak berhasil menemukannya pada tempat-tempat ini, maka mohonlah kepada Allah untuk mengaruniakan hati kepadamu, karena sesungguhnya kamu sudah tidak memiliki hati -yang hidup- lagi.” (al-Fawa’id, hal. 143)

Bahkan, terkadang aku datang ke suatu majlis ilmu tidak untuk menambah ilmu agama, tetapi hanya untuk berkumpul dengan orang-orang yang sama-sama ingin mendekatkan diri kepada Allah. Itulah saat-saat aku memasrahkan diri untuk mengais hidayah-Nya sekecil apapun. Bukankah salah satu obat hati memang berkumpul dengan orang-orang shalih?

Penjelasan Imam Nawawi dalam At Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an, Ibrahim Al Khowash berkata, obat hati itu ada lima:

1. Membaca Al Qur’an dan tadabbur (merenungkannya)

2. Rajin mengosongkan perut (dengan gemar berpuasa)

3. Mendirikan shalat malam (shalat tahajud)

4. Merendahkan diri di hadapan Allah (dengan do’a dan dzikir) di akhir malam (waktu sahur)

5. Bermajelis (bergaul) dengan orang-orang sholeh.

(At-Tibyan karya Imam Nawawi, hal. 87)

Sumber : https://rumaysho.com/6178-obat-hati-lakukanlah-lima-perkara.html

Kita memang tidak bisa menilai orang lain secara keseluruhan. Kita tidak mengetahui apakah orang-orang yang kita temui di majlis ilmu itu benar-benar sholih atau tidak. Namun, setidaknya majlis ilmu tersebut tempat berkumpulnya orang-orang yang sama-sama ingin beramal shalih. Menghadiri majlis ilmu pasti mendapat pahala selama niatnya ikhlas. Terkadang, dari majlis ilmu tersebut juga diberikan nasihat-nasihat yang mengingatkan kita untuk beribadah lebih banyak dan menjauhi dosa. Nasihat orang lain bagi saya efeknya lebih kuat daripada saya berdiam diri di rumah dengan berusaha sendiri membangkitkan motivasi dari dalam diri.

Betapa beratnya istiqomah bagi saya. Saya renungi berkali-kali apa penyebabnya. Mungkin saja, ketidakistiqomahan itu terjadi karena kita tidak mampu melewati ujian hidup yang Allah berikan dengan sikap yang benar. Sampai saat saya merasa terpuruk, saya sempat berharap tidak ingin diberikan ujian hidup jika ujian tersebut justru membuat saya bermaksiat. 😥 “Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa, lahaa maa kasabat wa ‘alaihaa maktasabat, rabbanaa laa tu-aakhidznaa in nasiinaa au akhtha’naa, rabbanaa walaa tahmil ‘alainaa ishran kamaa hamaltahuu ‘alalladziina min qablinaa, rabbanaa walaa tuhammilnaa maa laa thaaqatalanaa bih, …” Namun, saya menyadari sesuatu. Apakah benar saya begitu tidak menginginkan ujian hidup? Itu bohong. Bohong jika saya tidak menginginkan diberikan rezeki lebih karena justru selama ini saya menginginkannya. Saya merasa, kesempitan ekonomi itu satu-satunya bentuk ujian dilihat dari segi materi, padahal harta yang berlebih juga ujian. Apakah dengan harta berlebih membuat kita semakin taat kepada Allah atau sebaliknya? Apakah kita siap jika apa yang kita inginkan, yakni berupa materi, tidak Allah berikan karena materi tersebut justru membuat kita maksiat? Padahal, itulah yang selama ini kita anggap sebagai pencegah kelalaian. Ya, ujian hidup itu sejatinya bukan hanya berupa kesempitan dan musibah, melainkan juga berupa kelapangan dan kenikmatan. Bahkan, Allah jadikan kelapangan dan kenikmatan itu sebagai istidraj (jebakan) pada sebagian orang.

“Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secaa tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.” (terjemahan Al-An’am: 44)

“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas (bermaksiat) di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti (terhadap keadaan hamba-hamba-Nya), Maha Melihat.” (terjemahan Asy-Syura: 27)

Huft… Pada akhirnya, saya memasrahkan semuanya kepada Allah. Ujian terberat yang saya alami hingga saat ini adalah kondisi rumah kontrakan. Sejak saya mengontrak paviliun hingga pindah berkali-kali sampai akhirnya tinggal di rumah yang sekarang, semuaaa ada ujiannya. Saya yakin tidak ada yang betah tinggal di rumah tempat tinggal saya dalam waktu lama. Terutama rumah yang sekarang dan rumah yang sebelumnya. Yang sebelumnya menurut saya itu lebih parah. Di rumah sebelumnya, yang paling terasa berat adalah ketika dinding dan lantai rumah digerogoti tikus dan tikusnya masuk rumah membuat sampah berantakan. Toples pun digerogoti. Kotoran tikus di gudang berserakan. Itu ujian terberatnya dibanding ujian-ujian lainnya. Saya cuma bertahan 3 bulan di sana. Semakin cepat pindah, maka semakin baik. Akhirnya saya pindah ke rumah yang sekarang. Di rumah yang sekarang alhamdulillah tidak ada tikus yang masuk rumah, tetapi berbagai macam serangga masuk rumah. Kecoa sudah tak terhitung lagi. Maklum halamannya luas dan ada pohon besar, pohon jambu kelutuk. Ditambah lagi, ada selokan di belakang rumah yang sering kali bau. Yang paling sering membuat saya tidak sabar adalah cicak. Kotoran cicak di mana-mana. Saya lelah membersihkan kotoran cicak. baru dibersihkan, sudah ada kotoran cicak lagi. 😥 Saya juga heran kok cicaknya banyak banget sih… Kalau di luar rumah, saat musim hujan, banyak keong yang manjat-manjat ke tembok dan juga meninggalkan kotorannya. Tidak ketinggalan, saat musim hujan juga cacing-cacing masuk rumah. Sedih… 😥 Udah kayak kebun binataaang… Walaupun tikus tidak masuk rumah, tikusnya berkeliaran di halaman. Berkali-kali mengotori jalur masuk rumah. Sering ada bangkai tikus, bahkan di teras karena digigit kucing. Jujur, saya kesal pada yang punya kucing karena membiarkan kucingnya bertingkah di halaman dan teras rumah saya. Sekarang, ditambah lagi ayam tetangga pun ikut mencari makan di halaman rumah saya. Kalau cuma cari makan aja sih, saya gak masalah. Masalahnya, ayamnya mengotori jalan masuk rumah. Kotoran ayamnya mengganggu banget. Itu yang menyebalkan. 😦 Ujian lainnya di rumah adalah air. Airnya kotor banget. Sumurnya cuma dibor dengan kedalaman 24 meter, padahal kan seharusnya minimal 30 meter lah… Yang sering membuat saya tidak sabar, air kotor tersebut pun harus dipancing terlebih dahulu. Kasihan suami saya hampir setiap hari memancing air. Itu pun dapatnya ya air kotor, bukan air bersih. Jadi, untuk mendapatkan air bersih untuk mandi, kami harus membelinya dan mengangkutnya dari depan ke dalam kamar mandi setiap hari. Suami saya yang biasanya mengangkut air. 😥 Kalau suami sedang tidak di rumah, ya terpaksa saya sendiri yang mengangkutnya, apalagi kalau suami sedang keluar kota. Coba, siapa yang betah tinggal di rumah yang seperti itu??? Saya yakin tidak ada. Saya mau pindah, tetapi belum ada kontrakan baru yang sesuai keinginan dan budget.

Kalau saya lagi kepikiran dengan semua ujian itu, saya bisa stres. Walaupun kami tidak betah, ya dibetah-betahin. Apalagi saya yang lebih banyak di rumah. Ini sungguh menuntut kesabaran yang luar biasa. Namun, saya tidak ingin hati saya menjadi sempit karena ujian tersebut. Maka, saya berusaha melupakannya. Nah, yang bahaya jika cara melupakannya adalah dengan hal-hal yang tidak mendekatkan diri kepada Allah sehingga membuat saya lalai dari mengingat-Nya. 😥 Jika sekali saja kelalaian karena hawa nafsu itu diperturutkan, maka itu akan mengantarkan kepada kelalaian berikutnya. Yang bahaya jika akhirnya sampai berbuat dosa. A’uudzubillaahi min dzaalik. Maka, saya selalu berdoa semoga Allah tidak memberikan ujian hidup yang malah membuat saya maksiat karena memang tidak ada yang salah dengan doa tersebut (walaa tuhammilnaa maa laa thaaqatalanaa bih), bahkan disunnahkan untuk dirutinkan menjadi dzikir malam untuk mencegah syaithan masuk ke rumah. Kelalaian dan maksiatlah yang membuat hati kita menjadi sempit, tidak bahagia. Maka, sekalipun seseorang diberi kelapangan dan kenikmatan, jika itu membuatnya lalai, bahkan bermaksiat, sama saja hatinya akan menjadi sempit, tidak ada kebahagiaan. Jadi, cara pandang yang salah jika seseorang mencari kebahagiaan pada materi atau apapun yang melalaikan dengan menurutkan hawa nafsu, sekalipun alasannya adalah “me time”. Astaghfirullaah… Mau refreshing dalam bentuk apapun sebetulnya tidak masalah selama manfaatnya jelas. Yang masalah adalah refreshing yang melalaikan, apalagi yang tidak disukai Allah. Tidak akan bahagia orang yang lalai mengingat Allah karena hanya Allah yang bisa memberikan kebahagiaan dan bahagia itu letaknya di hati, bukan di materi, bukan pula dari manusia lain. “Huwalladzii anzalas-sakiinata fii quluubil mu’miniina liyazdaaduu iimaanan ma’a iimaanihim.”

Ketauhidan adalah kunci kebahagiaan, yaitu ketika kita betul-betul hanya bergantung kepada Allah, bertawakkal kepada Allah, dan mencari hanya ridho Allah (bukan ridho manusia). Ketauhidan yang kuat akan mendorong seseorang untuk senantiasa taat kepada Allah, senantiasa mengingat Allah, dan takut berbuat dosa sekecil apapun termasuk penyakit hati yang diperturutkan. Penyakit hati yang diperturutkan sejatinya adalah buah dari melalaikan hawa nafsu dan itu termasuk dosa, seperti riya’, sombong, dengki, dll. Penyakit hati jika ditampakkan, bentuknya adalah perbuatan zhalim, entah kepada diri sendiri ataupun kepada orang lain. Ketika seseorang dengan sadar menjaga, memeriksa, dan mengendalikan hawa nafsunya, maka sudah pasti ia lebih menjaga lagi dirinya dari berbuat dosa yang nampak. Allah pasti memberikan kebahagiaan kepada orang-orang seperti itu. Saya sendiri pernah merasakan saat-saat saya tidak terpengaruh untuk ikut-ikutan orang lain meskipun itu sudah menjadi kebiasaan orang banyak karena hati saya sedang peka, selalu bertanya kepada diri sendiri, “Kayak gitu untuk apa sih?” Di saat kita merendahkan diri di hadapan Allah, maka kita akan lebih mudah jujur kepada diri sendiri.

Istiqomah begitu berat. Apapun yang terjadi, tentu kita menginginkan akhir yang Allah ridhoi, husnul khatimah. Daripada menggelisahkan ujian yang telah ditakdirkan untuk kita, lebih baik kita menyerahkan semua urusan kepada Allah. “Yaa hayyu yaa qayyuum, birahmatika astaghiits, ashlihlii sya’nii kullahuu, walaa takilnii ilaa nafsii tharfata ‘ainin.” 😥 Betapa pentingnya merutinkan dzikir pagi dan petang karena isinya adalah doa-doa yang membentengi kita seharian untuk melawan syaithan. Tiada henti-hentinya saya memohon hidayah dan taufiq-Nya. Saya sadar bahwa masuk surga itu pasti tidak mudah, tidak semudah kita membeli tiket masuk tempat wisata (?). Untuk masuk surga pasti butuh perjuangan karena tidak ada tempat di dunia ini yang mendekati keindahan surga sehingga sangat wajar untuk diperjuangkan.

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga? Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (terjemahan QS Al-Baqarah: 214)

Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? (Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya), atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman, dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka adalah golongan kanan. (terjemahan QS Al-Balad: 12-18)

Yang penting, kita patut gelisah jika kita mulai sering menunda-nunda shalat, mulai malas membaca Al-Quran, sering melewatkan dzikir pagi dan petang, sering melewatkan tahajjud, sering memprioritaskan pekerjaan yang tidak seharusnya diprioritaskan, dan lama tidak menghadiri majlis ilmu. Bahkan, jika kita mulai tidak bisa menangisi dosa-dosa kita, itu pun sudah menjadi tanda-tanda sakitnya hati. Jangan sampai hati kita mati, tidak merasa ada yang aneh jika semua itu terjadi, apalagi masih bisa merasa sombong di saat iman kita jatuh seperti itu adalah hal yang seharusnya membuat kita malu di hadapan Allah. Untuk apa kita membanggakan diri di depan publik, tetapi di saat yang sama Allah justru menilai kita sangat rendah? Na’uudzubillaahi min dzaalik.

Leave a comment