Kompetisi Tidak Penting dan Bahaya bagi Anak???

medali

Suatu ketika saya membaca tulisan tentang kompetisi dan kolaborasi. Isi tulisan tersebut pada intinya menekankan bahwa kompetisi itu tidak penting. Yang lebih penting itu kolaborasi. Saya mengernyitkan dahi tanda belum bisa menerima seutuhnya isi tulisan tersebut. Maslahnya, bagi saya, argumen-argumen dalam tulisan tersebut tidak cukup kuat menunjang pendapatnya. Isinya hanyalah berupa asumsi-asumsi yang dilatarbelakangi oleh pengalaman.

Mengapa saya kurang setuju dengan pendapat bahwa kompetisi itu tidak penting, bahkan berbahaya? Yang pertama, dalam agama saya itu justru dikenal istilah fastabiqul khairat. Bagi saya, setiap muslim sudah seharusnya memiliki pandangan yang islami terhadap berbagai hal dalam semua aspek kehidupan. Setiap muslim sudah seharusnya memiliki aqidah yang kuat di manapun dan kapanpun Islamic Worldview atau The Worldview of Islam menjadi karakternya. Dalam agama saja bahkan dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, maka saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa pendapat yang menganggap kompetisi itu tidak penting atau berbahaya, itu pasti salah besar. Itu argumen saya pertama.

Kedua, kompetisi yang dimaksud dalam tulisan tersebut maknanya sangat sempit dibandingkan kompetisi dalam istilah agama. Yah namanya juga tulisan tersebut sangat jelas terlihat tidak dibangun dari sudut pandang agama, maka wajar saja jika makna kompetisinya sempit, yaitu hanya bicara soal perlombaan yang dinilai dari hasil yang terlihat: dapat juara atau tidak, dapat hadiah atau tidak, menang atau kalah, dapat ranking 1 atau tidak, dst, yang pada intinya semua prestasi tersebut dikejar hanya untuk mendapatkan kehormatan dan decak kagum serta pujian dari manusia. Gengsi rasanya kalau terlihat kalah di mata manusia. Padahal, dalam agama, kompetisi yang dimaksud itu tujuannya adalah hanya mencari pahala dan ridha Allah, bukan ridha manusia. Istilah fastabiqul khairat ini maknanya jauh lebih luas tentunya. Kompetisi yang dilakukan itu bertujuan menyeleksi orang-orang yang berpotensi dapat membangun peradaban Islam kelak dan memacu siapapun untuk menjadi orang yang paling bermanfaat bagi umat dan agama. Bukankah manusia terbaik, salah satunya, adalah manusia yang paling bermanfaat? Seandainya memang dengan memahami sains dapat bermanfaat bagi umat dan agama, mengapa kompetisi sains harus dihindari? Jika dengan memahami teknologi, seseorang dapat menjadi orang yang bermanfaat bagi keluarga dan tetangganya, mengapa kompetisi di bidang teknologi tidak perlu diadakan? Apalagi kompetisi-kompetisi di bidang agama, seperti lomba cerdas cermat Al-Quran dan lomba menulis essay tentang Islam, itu jelas sangat bermanfaat untuk memacu siapapun agar tidak mudah puas dengan ilmu yang seadanya. Jadi, sebetulnya kompetisi dalam perspektif agama itu yang terpenting bukan gelar, hadiah, atau pujian manusia karena memenangkan kompetisi tersebut. Bukan. Yang terpenting dari kompetisi adalah visi ke depannya dan proses belajarnya. Bisa jadi kan orang yang menang dalam perlombaan itu malah tidak mendapat ridha Allah karena suatu hal dan sebaliknya yang kalah di perlombaan malah mendapat ridha Allah karena dia telah menjaga ketulusan dan kelurusan niatnya dalam mengikuti lomba. Jadi, sebetulnya siapa yang menang dan siapa yang kalah itu hanya Allah yang mengetahuinya. 😀 Kan jadi gak lucu jika ada seseorang udah bangga setinggi langit karena prestasinya sehingga dia menganggap dirinya lebih baik daripada orang lain atau dia menganggap orang lain lebih rendah daripada dirinya, eh taunya orang yang telah dianggapnya lebih rendah itu justru mendapat kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah ketika di akhirat kelak… Pasti malu rasanya kan jadi orang yang terlanjur bangga pada sesuatu yang semu… Maka dari itu, penting bagi kita semua menjaga hati di manapun dan kapanpun. Inilah fastabiqul khairat. Ketika manusia hanya melihat hasil akhir, tetapi Allah justru menilai prosesnya. ^_^ Yah bukan berarti yang prosesnya bagus pasti gagal atau kalah… Yah kalau beruntung, Allah menakdirkan seseorang dengan ikhtiar yang bagus (kerja kerasnya dan niatnya) sekaligus hasil yang bagus juga (menang lomba atau ranking 1, misalnya).

Ketiga, dengan adanya kompetisi formal yang nyata, orang tua atau guru bisa mengetahui minat dan bakat sang anak. Kalau minat, itu cukup dilihat dari kesukaannya. Nah, kalau bakat itu berbeda. Bakat itu dilihat dari kemampuannya dibanding anak-anak lain yang sebaya. Kompetisi adalah salah satu cara untuk mengetahui bakat anak karena kompetisi itu membandingkan kemampuan satu anak dengan anak lainnya. Mengetahui bakat anak itu penting karena bakat anak harus dikembangkan sejak dini. Tentu, tujuannya harus jauh ke depan untuk agama Allah, bukan untuk kepentingan pribadi semata yang duniawi, apalagi cuma gengsi-gengsian.

Selain itu, pentingnya kompetisi yang nyata juga adalah untuk mengajarkan kita, terutama anak-anak, agar menyadari sepenuhnya bahwa ‘di atas langit ada langit’ dan mendidik kita agar kita mau mengakui kekalahan dengan besar hati. Terkadang, di luar kompetisi yang nyata itu suka ada kompetisi-kompetisi bayangan tanpa ‘arena pertandingan’. 😀 Maksudnya apa? Tidak ada registrasi, tidak ada hasil yang terlihat, tidak ada pula peserta resminya yang menjadi saingan nyata, tetapi rasanya seperti kompetisi. Saingannya dibuat-buat sendiri aja… Orang lain yang gak tahu-menahu dijadikan saingan bayangan… Nah, kompetisi bayangan seperti itu uniknya justru membuat siapapun yang terjebak di dalamnya menganggap dirinya telah menang tanpa sertifikat, tanpa piala, tanpa gelar. Yah seperti self-claim sih jadinya…  Jika faktanya kalah dalam kompetisi bayangan seperti itu, maka dia gak akan mau mengaku kalah karena memang tidak terlihat nyata kekalahannya. Bandingkan dengan kompetisi yang nyata dan formal. Jika kamu kalah, misalnya kamu tidak mendapat ranking 1 atau tidak mendapat 3 besar dalam suatu kompetisi, pasti akan terlihat oleh banyak orang bahwa kamu memang kalah. Di sana kamu mau tidak mau akan mengakui kekalahanmu dengan besar hati dan mau tidak mau juga mengakui keunggulan sainganmu. Ini penting menurut saya. Hehe…

Saya mengalami sendiri, ada kalanya menang, ada kalanya kalah. Hehe… Bisa jadi kan, yang tadinya sombong, ketika kalah dalam lomba yang nyata, akhirnya dia menyadari bahwa ‘di atas langit ada langit’ sehingga itu meruntuhkan dinding kesombongannya. Coba kalau kompetisinya gak jelas, tanpa arena pertandingan, yang sejak awal sombong karena self-claim dirinya telah menang, maka sombongnya sulit hilang. Contoh saja, ada orang yang usianya masih muda sudah punya rumah sendiri, lalu ada yang lain jadi tidak mau kalah harus punya rumah sebelum usia yang sama. 😀 Ini mah bodor ya… Tapi yang kayak gini tuh ada… Coba deh, siapa yang ngajak saingan kan? Tapi dirinya merasa tersaingi. XD Ini contoh kompetisi bayangan yang saya maksud. Bisa juga, misalnya, ada seseorang ingin mengundang decak kagum orang banyak, maka dia umumkan bahwa seolah-olah dia yang paling paham suatu ilmu, paling terampil menjahit, paling terampil memasak, paling cerdas, paling shalih, paling kreatif, atau paling-paling lainnya. Nah, ini self-claim yang saya maksud. XD Maka, memang penting sih ya bagi kita untuk menjaga hati agar tidak ‘ujub (self-claim) karena orang lain yang gak bilang-bilang dirinya hebat itu belum tentu tidak hebat. Orang yang tidak mengumumkan dirinya berprestasi, belum tentu tidak berprestasi. Orang yang tidak mengumumkan dirinya punya ini-itu, bukan berarti dia tidak mempunyainya. 🙂 Nah, self-claim kayak gitu hanya terjadi pada kompetisi bayangan. Hehe… Kalau pada kompetisi yang nyata dan formal, kalau menang ya ada buktinya dia menang, jika kalah juga ada buktinya dia kalah. Jadi, yang kalah akan mengakui dengan besar hati kekalahannya itu karena kompetisinya fair, benar-benar diadu secara terang-terangan. Namun, balik lagi, dalam mengadakan atau melaksanakan kompetisi, di sana harus ada pendidikan bahwa Allah tidak melihat hasil. Yang Allah nilai adalah prosesnya sehingga yang menang bisa menjauhi sifat sombong. Bahkan, bisa jadi penilaian Allah berbeda dengan dewan juri di perlombaan. Misalnya, dewan juri mengatakan bahwa A menang dan B kalah, tetapi bisa jadi Allah menilai sebaliknya karena dewan juri tetaplah hanya manusia. ^_^

Lalu, bagaimana jika dibandingkan dengan kolaborasi? Ah, di sini uniknya makna fastabiqul khairat (perlombaan dalam perspektif Islam). 🙂 Walaupun Islam menganjurkan kita berlomba-lomba dalam kebaikan, Islam juga melarang ada dengki dalam hati kita. Islam mengajarkan kita untuk senantiasa meluruskan niat dan membersihkan hati dari segala penyakit hati. Dlam Islam, fastabiqul khairat harus bisa sinergi dalam bentuk kolaborasi. Semua bentuk perlombaan sudah seharusnya bertujuan untuk menolong agama Allah, bukan untuk kepentingan pribadi, seperti mencari popularitas atau hal yang duniawi semata. 🙂 Kan tujuannya ridha Allah… kalau tujuannya benar ridha Allah ya seharusnya tidak masalah jika orang lain juga bisa hebat untuk agama Allah. Bayangkan saja kehidupan para sahabat Nabi. Mereka saling mencintai karena Allah. Tidak ada dengki. Tawadhu’. Padahal, mereka saling berlomba-lomba dalam kebaikan. Yah intinya di niat sih ya… Maka, kita harus sering-sering introspeksi diri, bermuhasabah, masih adakah penyakit hati yang kita idap?

Leave a comment